...
Sering kali aku berkata, ketika orang
memuji milikku, bahwa
sesungguhnya ini
hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus
kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang
bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika
titipan itu diminta kembali
oleh-Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai
musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu
sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk
melukiskan bahwa itu adalah
derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang
cocok dengan hawa nafsuku, aku
ingin
lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,lebih banyak
popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
seolah semua "derita" adalah
hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus
berjalan seperti matematika: aku
rajin
beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan
baikku",
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai
keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk
beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja"
(WS Rendra).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar